Sabtu, 24 April 2010

IJMA' dan QIYAS

PENDAHULUAN

Pada masa rasulullah SAW peraturan dan hukum dalam Islam langsung diterima melalui wahyu [ayat-ayat al-Qur’an dan atau Sunnah beliau melalui hadits] yang kemudian disampaikannya pula kepada ummatnya.

Sebagaimana telah diuraikan bahwa cara turunnya wahyu dibagi dua macam dapat dilihat disini, dan sunnah rasul SAW yang diterbagi atas tiga bagian yaitu sunnah qauliyah [perkataan], fi’liyah [perbuatan] dan sunnah taqririyah [persetujuan atau penolakan]

Ijma’ dan qiyas pada masa kehidupan rasulullah SAW merupakan suatu media yang tidak dibutuhkan, sebab rasulullah SAW bertindak sebagai peletak dan penjelas hukum-hukum yang datang dari Allah SWT.

Sepeninggalnya beliau SAW, banyak kejadian yang tidak ditemukan hukumnya dalam al-Kitab dan sunnah rasul SAW, sehingga memerlukan pengamatan dan penelitan serta pendekatan dengan suatu hukum yang telah ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

PEMBAHASAN

“IJMA’ DAN QIYAS”

A.IJMA’

1.Pengertian Ijma’

•Menurut Bahasa
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.

•Menurut Istilah
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.

2.Dasar Hukum Ijma’

a.Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

b.Al- Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan."
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

c.Akal Pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan.

3.Rukun Ijma’
a.Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

b.Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka.

c.Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.

d.Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.

4.Syarat Mujtahid
•Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
•Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
•Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
•memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
•Menguasai ilmu bahasa.

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.

5.Syarat- Syarat Ijma’
a.Tetap melalui jalan yang shohih,
yaitu dengan kemasyhurannya dikalangan 'ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya.

b.Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya,
jika didahului oleh hal itu maka bukanlah ijma' karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.Maka ijma' tidak bisa membatalkan khilaf yang ada sebelumnya, akan tetapi ijma' bisa mencegah terjadinya khilaf. Ini merupakan pendapat yang rojih karena kuatnya pendalilannya.

6.Macam- Macam Ijma’
•Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
a.ljma' bayani,
yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;

b.Ijma' sukuti,
yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.

•Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
a.ljma' qath'i,
yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;

b.ljma' dhanni,
yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

7.Objek Ijma’
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.

B.QIYAS

1.Pengertian Qiyas

a.Menurut Bahasa
Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, "Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya", artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.
Dalam perkembanganya, kata qiyâs banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.

b.Menurut Istilah
Qiyas menurut istilah ahli ushul fiqh adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hokum, sebab sama dalam illat hukumnya.
Apabila ada nash yang menunjukan hokum pada suatu peristiwa dan dapat diketahui illat hukumnya dengan cara-cara yang digunakan untuk mengetahui illat hukumnya, kemudian terjadi peristiwa lain yang sama illat hukumnya, maka hukum kedua masalah itu disamakan sebab memiliki kesamaan dalam hal illat hukum. Karena hukum dapat ditemukan ketika illat itu sudah ditemukan.

2.Rukun Qiyas
Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyâs dapat dibagi menjadi empat yaitu:

a.Al-ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs 'alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan) juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu’mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan. Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

b.Hukmu al-ashlu
Atau hukum asli; adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu.

c.Al-far'u
Al-far'u adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.

d.Al-'illah
Al-'illah adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u, seperti "al-iskâr".

3.Syarat- Syarat Qiyas
Dari empat rukun qiyâs yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyâs, di antaranya adalah:

a.Syarat al-Ashlu
Ulama ushul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum) yang lain.

Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyâs harusalah dibangun diatas dalil nash ataupun ijma', hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya qiyâs yang didasarkan atas ijma'. Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyâs didasarkan dari 'illah yang menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam ijma', karena ijma' tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far'u). Maka apabila tidak disebutkan al-far'u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui 'illah qiyâs-nya.

b.Syarat Hukmu al-Ashli
Terdapat beberapa syarat dalam hukmu al-ashli atau hukum asli,diantaranya:

•Harus merupakan hukum syar'i, karena tuntutan dari qiyâs adalah untuk menjelaskan hokum syar'i pada al-maqîs atau objek qiyâs.

•Harus merupakan hukum syara' yang tetap (tidak dihapus). Karena dalam penetapan hukum dari al-ashlu ke al-far'u, didasarkan dari 'illat dalam nash syar'i. Maka apabila hukum asli dihapus, mengharuskan terhapusnya juga 'illat yang akan digunakan dalam al-far'u.

•Merupakan sesuatu yang logis yang bisa ditangkap oleh akal; 'illat hukumnya bisa diketahui oleh akal. Karena asas qiyâs di antaranya adalah: 'illat hukumnya bias diketahui, dapat diterapkan pada al-far'u.
Para ulama mengatakan tidak dibolehkanya qiâyas dalam masalah ta'abuddiyah (prerogatif Allah), yang 'illah-nya manusia tidak ada kepentingan untuk mengetahuinya, seperti jumlah raka'at dalam shalat, thawaf mengelilingi ka'bah dan lain-lain.

c.Syarat al-Far'u
•'Illat yang terdapat pada al-ashlu memiliki kesamaan dengan 'illat yang terdapat pada far'u, karena seandainya terjadi perbedaan 'illat, maka tidak bisa dilakukan penyamaan (qiyâs) dalam keduanya. Adapun qiyâs yang tidak terdapat syarat ini, dikatakan oleh para ulama sebagai qiyâs ma'a al-fâriq.

•Tetapnya hukum asal; hukum asal tidak berubah setelah dilakuakan qiyâs

•Tidak terdapat nash atau ijma' pada al-far'u, yaitu berupa hukum yang menyelisihi qiyâs. Seandaiya terjadi hal ini, maka qiyâs itu dihukumi dengan qiyâs fâsid al-'itibâr. Imam Abu Hanifah berkata: "Tidak sah adanya pensyaratan 'iman' dalam memerdekakan budak sebagai kafarat sumpah di-qiyâs-kan pada kafarat pembunuhan; karena pensyaratan itu menyelisihi keumuman nash dalam firman Allah Swt.:
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. (Q.S.Al-Mâidah:89).
Lafadz "raqabah/budak" dalam ayat ini berbentuk mutlaq, tidak ada pensyaratan harus mu'min, berbeda dengan kafarat pembunuhan seperti firman Allah Swt.:
Artinya: Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat.(Q.S. An-Nisâ:92).

Maka qiyâs dalam kafarat sumpah atas kafarat pembunuhan adalah fâsid (rusak).

d.Syarat 'illat
•Sifat 'illat hendaknya nyata; terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat merupakan isyarat adanya hukum yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada far'u. Apabila 'illat tidak bisa ditangkap pancaindera, maka tidak mungkin untuk bisa menunjukkan kepada suatu hukum, jadi 'illat haruslah nyata, seperti 'illat memabukkan dalam Khamer.

•Sifat 'illat hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada far'u, karena asas qiyas adalah adanya persamaan 'illat antara ashlu dan far'u'.

•‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan hikmah hukum, dalam arti bahwa kuat dugaan 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk.

•'Illat tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi harus berupa sifat yang dapat diterapkan juga pada masalah-masalah lain selain dari ashlu.
Untuk hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Saw, tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Misalnya menikahi wanita lebih dari empat orang, karena ini berupa ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi Nabi Saw.

4. Hujjatul Qiyas
•Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyâs sebagai hujjah adalah: petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar'i. Sedangkan artii hujjiyatul qiyâs sendiri adalah bahwa qiyâs merupakan dasar dari dasar-dasar pensyareatan dalam hukum-hukum syar'i ' praktis.

•Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara'. Tetapi mereka sepakat bahwa qiyâs bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara-perkara duniawi, sebagaimana pula mereka sepakat kehujjahan qiyâs Nabi Saw.

•Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.Jumhur 'ulama Mu'tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:

a.Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.

b.Hukum far'u harus lebih utama daripada hukum ashl.

5.Persepsi Para Ulama Mengenai Qiyas
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas terdapat dua kelompok, yaitu pertama,kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih, dan kedua,kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama-ulama Syi'ah, al-Nadzâm, Dzhahiriyyah dan dari sebagian ulama Mu'tazilah Irak. Hanya saja sebagian dari mereka mengatakan bahwa pelarangan ataupun penolakan terhadap hujjah qiyâs berdasarkan dari akal, dan sebagian yang lain mengatakan pelaranganya dari syar'i, namun pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang menolak adanya qiyâs.

a.Alasan ulama yang menetapkan Qiyas
Para ulama yang menetapkan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil dari al-Quran, As-sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, dan juga illat-illat rasional.
Pertama ; diantara ayat-ayat al-Quran yang digunaka sebagai dalol terdapat 3 (tiga) ayat :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nisa: 59)

Artinya: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan yang dimaksud dengan ahli Kitab ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir, merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah.(QS. Al-Hasyr : 2)

Artinya: Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.(QS. Yaasin : 79).
Kedua, diantara sunnah yang digunakan sebagai dalil ada dua :

•Hadist Mu’ad bin Jabal : ”ketika Rasulullah mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya : dengan apa engkau memutuskan sesuatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu?” Mu’adz berkata, “aku putuskan dengan kitab Allah (Al-Quran), bila tidak ku temukan maka dengan As-Sunnah Rasulullah, bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan condong. “ maka Rasulullah SAW. Menepuk dadanya dan bersabda,” Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan.”

•Dalam sebuah riwayat dikatakan: umar bertanya kepada Rasul tentang ciuman orang berpuasa tanpa mengeluarkan air mani, maka Rasul bersabda,” Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur dengan air sedangkan kamu berpuasa?” Umar menjawab,”Tidak apa-apa.”Rasul bersabda,” Nah itulah. “ Artinya, mencium seperti itu tidak membatalkan puasa.

Ketiga: Adapun perbuatan dan ucapan para sahabat membuktiakn bahwa qiyas adalah hujjah syara’. Mereka berijtihad mengenai masalaha-masalah yang tidak memiliki nash hukum dan mengkiasan hukum yang tidak memiliki nash dengan hukum yang memiliki nash dengan cara membanding-bandingkan antara yang satu dengan yang lain. Seperti, mereka mengkiaskan masalah khalifah dengan imam shalat, membai’at Abu Bakar sebagai khalifah dan menjelaskan dasar-dasar kias dengan ungkapan : Rasulullah rela Abu Bakar menjadi imam agama kita, Apakah kita tidak rela dia sebagai pemimpin dunia kita.

Keempat: Adapun illat rasional dalam menetapkan kias ada tiga :

•Allah SWT. Tidak menetapkan hukum syara’ kecuali untuk kemaslahatan, dan kemaslahatan umat adalah tujuan akhir dari penetapan hukum syara’.

•Nash al-Quran dan As-Sunnah sangat terbatas dan ada habisnya. Sedangkan kejadian dan permasalahan manusia tidak terbatsa dan tidak ada habisnya. Maka tidak mungkin nash yang ada habisnya itu saja yang menjadi sumber hukum syara’ bagi masalah-masalah yang tidak ada habisnya.

•Kias adalah dalil yan didukung oleh naluri yang sehat dan teori yang benar. Seseorang yang melarang minuman karena beracun, bias mengkiaskan minuman itu kepada semua minuman yang beracun.

b.Alasan ulama yang menolak qiyas

1.Mereka berpendapat bahwa qiyas itu didasarkan pada dugaan, padahal sesuatu yang didasarkan pada dugaan, hasilnya adalah dugaan. Allah SW mencegah kepada orang- orang yang mengikuti dugaan, sebagaiman firman-Nya:

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.(QS. Al-Israa’: 36).
Atas dalil tersebutlah maka hukum dengan qiyas adalah tidak sah, karena mengikuti dugaan.

2.Pendapat mereka bahwa kias didasarkan pada perbedaan pandangan dalam menemukan illat hukum, dan hal itu adalah sumber perbedaan dan pertentangan hukum. Sedangkan diantara hukum-hukum syara’ yang bijaksana ini tidak ada pertentangan.

3.Ungkapan yang mereka terima dari sebagian sahabat yang mencela pendapat pribadi dan penetapan hokum dengan pendapat pribadi.

KESIMPULAN

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkatan kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil- dalil nash (Al- Qur’an dan Hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah al- Qur’an dan haditts, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum- hukum syara’. Ijma’ juga dapat dikatakan kesepakatan para mujtahid dalam suatu massa setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Sedangkan Qiyas menurut ulama Ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya Al- Qur’an dan Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang di tetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain: Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Al- Zuhaili Wahbah, Ilmu Ushul Fiqh al- Islami.

Khallaf Wahhab Abdul, Ilmu Ushul Fiqh. PUSTAKA AMANI

Zahrah Abu Muhamad, 2003, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus: Jakarta.

Situs internet, dengan alamat: www.google.com.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar